Selasa, April 20, 2010

Pemilik Vila Jangan Korbankan Warga

AKARTA--MI: Kementerian Kehutanan meminta kepada seluruh pemilik vila ilegal yang berdiri di atas lahan Taman Nasional Gunung Salak Halimun (TNGHS) untuk tidak mengorbankan warga setempat. Pasalnya, seluruh aspek pelanggaran hukum di kawasan hutan konservasi itu sudah jelas dilakukan para pemilik vila dengan membangun bangunan tanpa izin.

Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Darori mengatakan, selama ini pihaknya mendapat laporan bahwa para pemilik memang telah memperalat warga setempat untuk menggalang kekuatan menghalang-halangi upaya penertiban vila-vila liar di sana.

"Para pemilik vila-vila itu memanfaatkan masyarakat karena banyak yang tidak mengerti duduk perkaranya. Kita sudah tahu ada provokator yang sengaja diturunkan untuk mengorganisir penolakan," ujarnya ketika dihubungi, Senin (19/4).

Menurut dia, dengan berjalannya proses pengiriman surat peringatan tiga oleh Pemkab Bogor, saat ini mekanisme penertiban sudah berada pada aparat kepolisian. Untuk itu, ada dua aturan hukum yang disiapkan untuk menjerat para pemilik yang terus saja membandel menolak pembongkaran.

Pertama, mereka yang terlibat aksi jual-beli lahan akan dijerat UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp200 juta. Terkait pembangunan perumahan dan vila, pelaku akan dijerat UU No 41/1999 tentang Kehutanan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda Rp5 miliar.

"Nama-namanya ga perlu lah diumumkan karena kita tidak mau terkesan arogan. Yang penting kepolisian sudah memegang daftar nama seluruh pemilik dan tidak akan segan-segan menangkapi para pelanggar hukum itu," ujarnya.

Namun demikian, pihaknya tidak akan gegabah dalam bertindak dan akan tetap menempuh langkah-langkah penertiban dengan cara yang persuasif. Hal itu diperlukan guna menghindari terjadinya bentrokan fisik antara aparat dengan warga yang justru akan mengorbankan masyarakat sipil.

Meski memang, pihaknya mengakui bahwa kasus penertiban lahan di TNGHS beda dengan kasus sengketa lahan di Tanjung Priok. Di Priok, aksi penertibannya sampai memancing kerusuhan massa dan bahkan menelan korban karena lahan yang dipersengketakan adalah makam penyiar agama yang menyinggung masyarakat banyak.

"Yang terjadi di TNGHS kan murni pidana karena para pemilik vila jelas-jelas telah menduduki tanah pemerintah dengan tanpa izin," ujarnya.

Untuk itu, Kamis (22/4) mendatang, pihaknya akan mengundang PT Perusahaan Listrik Negara, Kapolda Jawa Barat, tim Kejaksaan, hingga Bupati Bogor untuk duduk bersama mencari strategi terbaik untuk mengusir para penunggu vila.

"Nantinya kami kan membicarakan langkah-langkah penegakan yang paling baik, termasuk kapan hari H pembongkaran vila yang rencananya akan turut disaksikan Menteri Kehutanan," ujarnya.

Namun demikian, pihaknya akan tetap terbuka jika para pemilik mau membongkar sendiri vila-vila liarnya. Terkait hal itu, dia mengakui sudah ada delapan orang pemilik vila yang datang ke kantornya untuk mengakui kesalahan mereka dan kemudian mau membongkar sendiri vila-vila ilegal mereka. (*/OL-7